(Managementfile - HR) - Dalam bukunya, Good to Great, Jim Collins menekankan betul bahwa tidak sembarang sumber daya manusia adalah aset bagi perusahaan. Karyawan akan jadi aset perusahaan hanya bila ia 'bermutu'. Sebaliknya, sumber daya manusia yang tidak produktif, daya belajar dan berkembangnya rendah, sooner or later, akan jadi borok perusahaan.
Memang terkadang perusahaan bisa sedemikian beruntung, menemukan dan merekrut fresh graduates atau staf yang sedemikian pandai, rajin, berbakat, dan siap berkembang di perusahaan. Ada di antara mereka yang pada saatnya tampil jiwa kepemimpinannya dan siap jadi manajer, bahkan direktur. Bisa juga calon bintang ini terasah secara 'on the ground' atau melalui kelas-kelas pelatihan agar makin berkembang kompetensi strategisnya. Namun, realitanya, sangat sulit mendapatkan orang bermutu. Bagaimana nasib populasi terbesar karyawan yang sudah ada di perusahaan dan tidak mampu menjadi manajer atau direktur secara instan? Perusahaan yang pintar, tentunya akan berusaha habis-habisan menggali potensi, ketrampilan, keahlian dan kepribadian karyawan yang sudah ada dengan berbagai cara. Tetapi, apakah mekanismenya sesederhana dan semudah ini?
Di sebuah organisasi yang sudah sangat mantap kinerjanya, tiba tiba terasa bahwa sebutan 'manajer' semakin kehilangan porsi dan bobotnya. 'Manajer' jadi posisi di mana seseorang berproduksi lebih sedikit daripada teman-temannya (yang sekarang menjadi bawahannya), bergaji lebih besar, dan secara teratur hadir di rapat-rapat manajemen. Jangankan ketrampilan entrepreneurial, ketrampilan manajerial yang dipunyai para manajer dan supervisor ini sangat-sangat terbatas. Bila situasi ini hanya terjadi di salah satu bagian saja, kita bisa menyalahkan direktur yang membawahi bagian tersebut. Tetapi, bila situasi ini hampir menyeluruh, maka pertanyaannya: "Siapa yang bertanggung jawab terhadap situasi ini?", "Strategi apa yang luput dan diabaikan oleh perusahaan?"
'Mencetak' bintang = Proses yang Disengaja
Hanya dengan bimbingan intensif-lah individu bisa mempelajari ketrampilan lain, terutama ketrampilan manajerial. Bisa saja 'coaching' tidak terjadi karena tidak membudaya di perusahaan. Seorang pimpinan perusahaan yang sangat 'sales oriented' dan biasa mengajukan pertanyaan, "Jual berapa banyak hari ini?" di lift atau koridor, akan dipandang aneh bila tiba-tiba ia bertanya: "Berapa banyak orang sudah anda ajari hari ini?".
Bisa jadi, baik orang yang di-coach maupun coach-nya beranggapan bahwa proses 'coaching' akan berjalan dengan sendirinya. Padahal, mengasah dan 'membuat orang' tidak terjadi secara alami, namun perlu disengaja, dibentuk, didorong dan dipantau terus-terusan. Apapun alasannya, perusahaan yang tidak menerapkan mekanisme ini, suatu saat akan mengalami kekurangan 'orang bagus' di perusahaannya.
Coaching' = Taking a player where he can't take himself
Seorang manajer berkata pada atasannya: "Saya memang salah dan tidak bisa mengelola anak buah, pak. Saya tahu saya sudah pergi ke berbagai kursus manajemen SDM. Tetapi, siapa yang membimbing saya untuk berpraktek?" Sebenarnya, coach yang 'pelit ilmu' jarang terjadi, walaupun bisa saja terjadi juga. Atasan yang meng-'coach', di samping mengontrol juga perlu menyediakan jawaban dan memberikan solusi. Coach-lah yang akan memacu individu dan membawanya ke kompetensi yang belum pernah dimilikinya.
Atasan bukan penonton
Sebenarnya sudah dari jaman Ki Hadjar Dewantoro kita mengenal falsafah "Tut Wuri Handayani, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso". Namun, istilah ini lebih diarahkan kepada profesi seorang guru. Padahal, di perusahaan, seorang pemimpin tidak bisa menghindari tugas untuk mendemonstrasikan cara pemanfaatan waktu yang efektif, memilih prioritas, menemui pelanggan, membimbing & menegur bawahan, sampai-sampai memilih restoran atau hotel bila bepergian. Ini memang terlihat sepele, tetapi tidak bisa didapatkan 'coachee' dari orang lain, karena dia memang tumbuh di perusahaan.
Mengelola bawahan melalui 'coaching', sangat berbeda dengan manajemen tradisional, di mana manajer seolah memegang tuas kontrol dan 'menunggu' bawahan untuk berprestasi. Hubungan coaching adalah hubungan yang mengembangkan rasa percaya, 'fairness', dan membangkitkan semangat. Manajer yang meng-coach akan banyak bertanya, banyak memfasilitasi dan berdiskusi mengenai solusi. Bawahan yang di-coach harus menyadari bahwa ia perlu menguasai banyak kompetensi lain di luar ekspertisnya yang sekarang. seperti pengetahuan bisnis, kejelasan sasaran perusahaan, cara perusahaan menyelesaikan masalah, dan bagaimana membuat kebijakan dan mengambil strategi.
Bagaimana bila atasan sendiri juga tidak menguasai teknik atau pendekatan tertentu? Selama atasan jujur dan mengakui hal ini kepada bawahan, masih ada kesempatan belajar bersama.
Memang terkadang perusahaan bisa sedemikian beruntung, menemukan dan merekrut fresh graduates atau staf yang sedemikian pandai, rajin, berbakat, dan siap berkembang di perusahaan. Ada di antara mereka yang pada saatnya tampil jiwa kepemimpinannya dan siap jadi manajer, bahkan direktur. Bisa juga calon bintang ini terasah secara 'on the ground' atau melalui kelas-kelas pelatihan agar makin berkembang kompetensi strategisnya. Namun, realitanya, sangat sulit mendapatkan orang bermutu. Bagaimana nasib populasi terbesar karyawan yang sudah ada di perusahaan dan tidak mampu menjadi manajer atau direktur secara instan? Perusahaan yang pintar, tentunya akan berusaha habis-habisan menggali potensi, ketrampilan, keahlian dan kepribadian karyawan yang sudah ada dengan berbagai cara. Tetapi, apakah mekanismenya sesederhana dan semudah ini?
Di sebuah organisasi yang sudah sangat mantap kinerjanya, tiba tiba terasa bahwa sebutan 'manajer' semakin kehilangan porsi dan bobotnya. 'Manajer' jadi posisi di mana seseorang berproduksi lebih sedikit daripada teman-temannya (yang sekarang menjadi bawahannya), bergaji lebih besar, dan secara teratur hadir di rapat-rapat manajemen. Jangankan ketrampilan entrepreneurial, ketrampilan manajerial yang dipunyai para manajer dan supervisor ini sangat-sangat terbatas. Bila situasi ini hanya terjadi di salah satu bagian saja, kita bisa menyalahkan direktur yang membawahi bagian tersebut. Tetapi, bila situasi ini hampir menyeluruh, maka pertanyaannya: "Siapa yang bertanggung jawab terhadap situasi ini?", "Strategi apa yang luput dan diabaikan oleh perusahaan?"
'Mencetak' bintang = Proses yang Disengaja
Hanya dengan bimbingan intensif-lah individu bisa mempelajari ketrampilan lain, terutama ketrampilan manajerial. Bisa saja 'coaching' tidak terjadi karena tidak membudaya di perusahaan. Seorang pimpinan perusahaan yang sangat 'sales oriented' dan biasa mengajukan pertanyaan, "Jual berapa banyak hari ini?" di lift atau koridor, akan dipandang aneh bila tiba-tiba ia bertanya: "Berapa banyak orang sudah anda ajari hari ini?".
Bisa jadi, baik orang yang di-coach maupun coach-nya beranggapan bahwa proses 'coaching' akan berjalan dengan sendirinya. Padahal, mengasah dan 'membuat orang' tidak terjadi secara alami, namun perlu disengaja, dibentuk, didorong dan dipantau terus-terusan. Apapun alasannya, perusahaan yang tidak menerapkan mekanisme ini, suatu saat akan mengalami kekurangan 'orang bagus' di perusahaannya.
Coaching' = Taking a player where he can't take himself
Seorang manajer berkata pada atasannya: "Saya memang salah dan tidak bisa mengelola anak buah, pak. Saya tahu saya sudah pergi ke berbagai kursus manajemen SDM. Tetapi, siapa yang membimbing saya untuk berpraktek?" Sebenarnya, coach yang 'pelit ilmu' jarang terjadi, walaupun bisa saja terjadi juga. Atasan yang meng-'coach', di samping mengontrol juga perlu menyediakan jawaban dan memberikan solusi. Coach-lah yang akan memacu individu dan membawanya ke kompetensi yang belum pernah dimilikinya.
Atasan bukan penonton
Sebenarnya sudah dari jaman Ki Hadjar Dewantoro kita mengenal falsafah "Tut Wuri Handayani, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso". Namun, istilah ini lebih diarahkan kepada profesi seorang guru. Padahal, di perusahaan, seorang pemimpin tidak bisa menghindari tugas untuk mendemonstrasikan cara pemanfaatan waktu yang efektif, memilih prioritas, menemui pelanggan, membimbing & menegur bawahan, sampai-sampai memilih restoran atau hotel bila bepergian. Ini memang terlihat sepele, tetapi tidak bisa didapatkan 'coachee' dari orang lain, karena dia memang tumbuh di perusahaan.
Mengelola bawahan melalui 'coaching', sangat berbeda dengan manajemen tradisional, di mana manajer seolah memegang tuas kontrol dan 'menunggu' bawahan untuk berprestasi. Hubungan coaching adalah hubungan yang mengembangkan rasa percaya, 'fairness', dan membangkitkan semangat. Manajer yang meng-coach akan banyak bertanya, banyak memfasilitasi dan berdiskusi mengenai solusi. Bawahan yang di-coach harus menyadari bahwa ia perlu menguasai banyak kompetensi lain di luar ekspertisnya yang sekarang. seperti pengetahuan bisnis, kejelasan sasaran perusahaan, cara perusahaan menyelesaikan masalah, dan bagaimana membuat kebijakan dan mengambil strategi.
Bagaimana bila atasan sendiri juga tidak menguasai teknik atau pendekatan tertentu? Selama atasan jujur dan mengakui hal ini kepada bawahan, masih ada kesempatan belajar bersama.
0 komentar:
Posting Komentar
Yuk comment tapi jangan SPAM ya..